Kamis, Agustus 02, 2007

MENGAPA PENDETA TIDAK SUKA MENULIS?

Pada tanggal 9 Februari ini, kita memperingati Hari Pers Nasional. Kita seharusnya bangga bahwa kita memiliki hari pers nasional. Namun, budaya membacara, terlebih budaya menulis sangat kurang diminati. Kecenderungan orang pada masa kini adalah budaya dengar dan lihat. Apa yang didengar dan apa yang dilihatlah yang biasa diterapkan. Dengan asumsi bahwa mendengar dan melihat (menonton) tidak perlu memeras otak. Asumsi ini didukung pula oleh pandangan sekelompok orang yang memegang prinsip “serba praktis dan instant”. Maksudnya tidak usah cape-cape membaca atau menulis, toh dengan mendengar atau melihat saja kan lebih mudah dimengerti.
Anggapan-anggapan senada juga diajukan tidak hanya di kalangan pelajar atau mahasiswa, di lingkungan gereja pun budaya ini bertumbuh subur. Kita bisa melihatnya berdasarkan dugaan secara umum, bahwa kebanyakan para pendeta lebih senang untuk mengutarakan pesan firman Tuhan melalui kaset atau vcd ketimbang buku. Ada beberapa kemungkinan bisa dijadikan alasan.

1. Tidak ada waktu
Jadwal pelayanan yang padat, kurangnya waktu untuk mencatat, sibuknya melayani orang sakit, banyaknya jemaat yang mau dibaptiskan, padatnya acara kebaktian dan kesibukan membimbing jemaat yang akan menikah, menjadi alasan yang masuk diakal mengapa para pendeta tidak ada waktu untuk menulis.

2. Tidak terbiasa
Kebiasaan seseorang sangat mempengaruhi kehidupannya. Ada banyak pendeta yang setiap kali berkhotbah tidak membuat kerangkakhotbah yang akan dikhotbahkan. Mereka sudah terbiasa membawakan firman Tuhan secara langsung. Istilahnya, mengalir apa maunya Roh Kudus. Ini memang benar, namun amat disayangkan bila bahan khotbah yang hendak disampaikan itu tidak didokumentasikan ke dalam bentuk tulisan. Bahan-bahan khotbah yang sudah dituliskan tersebut kan bisa dikumpulkan dan dibukukan, sehingga lebih efektif dan efisien untuk membina pertumbuhan jemaat.

3. Tidak bisa
Memang, sebagian orang berpendapat bahwa menulis itu diperlukan suatu bakat khusus atau paling tidak harus belajar dahulu bagaimana untuk menulis. Namun sebenarnya, bila ada kemauan orang yang tadinya tidak bisa akan menjadi bisa bila sudah mencobanya berulangkali. Sama halnya dengan seorang anak kecil berusia empat tahun yang sedang belajar mengendarai sepeda. Bukankah tidak diperlukan bakat khusus untuk bisa mengendarai sepeda? Cukup dengan ketekunan untuk tidak cepat menyerah, maka akhirnya dia bisa mengendarai sepeda dengan baik. Demikian pula dengan menulis. Tekun dan giat berlatih akan mengasah ketrampilan untuk menulis sehingga mahir.

4. Honornya kecil
Sebagian orang berpendapat bahwa bila menulis di suatu majalah atau membuat suatu buku itu tidak dihargai. Honornya kecil dan tidak sebanding dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan. Itulah sebabnya banyak orang yang enggan untuk menulis. Lebih cenderung untuk memilih secara lisan saja.

5. Malas
Sifat malas menjadi alasan akhir mengapa mereka tidak mau menulis. Malas menuangkan kata-kata ke dalam bentuk tulisan. Malas mengetik. Malas kalau tulisannya dianggap jelek. Malas memperbaiki kembali bila ada tulisan yang salah. Kemalasan merupakan alasan klasik yang tidak bisa dipungkiri lagi.

Solusi
Menulis itu penting, apapun alasannya menulis tetap harus dikembangkan. Pendeta pun jangan mau ketinggalan dengan jemaatnya yang suka menulis. Mari, kembangkanlah budaya menulis bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus. Jangan sia-siakan firman Tuhan yang sudah ditaburkan, tampunglah dengan tulisan menjadi sebuah buku. (oleh Tony Tedjo)

Tidak ada komentar: